AHLAN WASAHLAN...WELCOME TO MY BLOG, SELAMAT DATANG DI BLOGKU, SUGENG RAWUH TENG BLOG KULO. ULAMA ADALAH PEWARIS PARA NABI, MARI KITA HORMATI ULAMA DAN KYAI SEBAGAI PEMEGANG ESTAFET RISALAH RASULULLAH SAW.

Wednesday, May 11, 2011

Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya. Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). 
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru  delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat. Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. 
Karya K.H. Hasyim Asy'ari
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
READ MORE - Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari

Sunday, May 8, 2011

K.H. MOENAUWIR AL HAFIDZ, KRAPYAK - YOGYAKARTA

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Quran. Dan di Krapyak, sosok kharismatik Mbah Moenawirlah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Quran sudah nampak sejak putra Kiai Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Quran sebelum usianya menginjak delapan tahun.


Moenauwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Kasan Besari (senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Quran dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, meski tanpa hadiah.


Kehandalannya dalam membaca Al-Quran dengan fasih bahkan diakui gurunya, Kiai Kholil Bangkalan. Ketika usianya hampir menginjak 10 tahun, orang tuanya mengirim Moenauwir kecil untuk nyantri Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Mengetahui kefasihan salah seorang santrinya dalam membaca kalam ilahi, Kiai Kholil memerintahkan Moenauwir untuk mengimami shalat jamaah. Sementara Kiai Kholil sendiri berdiri sebagai makmum di belakangnya.


Bermukim di Haramain

Selepas dari Bangkalan, Kiai Moenauwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun.

Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.


Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah, sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silislah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.


Untuk memantapkan hafalan Al-qurannya, Kiai Moenauwir juga melakukan riyadhah berjenjang. Tiga tahun pertama ia mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh hari sekali. Tiga tahun kedua ia mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali. Dan tiga tahun ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Quran tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadhah tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.


Usai tirakat, Kiai Moenauwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syariat lain, seperti fiqih dan tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.


Di Kauman ia membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Quran di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban seba kepada sultan.


Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang. Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Quran ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Quran, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin Al Hafidz), Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar Al Hafidz), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha Al Hafidz), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh Al  Hafidz), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed  Al Hafidz pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Kiai Moenauwir.


Dua Tahun

Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain harus memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makharijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.

Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Quran dari Kiai Moenauwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.


Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandanaran, misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.


Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di pesantren-pesantren tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan tahfizh juz 30 atau juz ‘Amma, kemudian disusul program bin nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah khatam bin nazhar, barulah santri dapat mengikuti program bil ghaib atau tahfizh 30 juz.


Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran mushafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.


Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Quran alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Quran yang sudah ditashih Kiai Arwani Amin Kudus. Al-Quran tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.


READ MORE - K.H. MOENAUWIR AL HAFIDZ, KRAPYAK - YOGYAKARTA