AHLAN WASAHLAN...WELCOME TO MY BLOG, SELAMAT DATANG DI BLOGKU, SUGENG RAWUH TENG BLOG KULO. ULAMA ADALAH PEWARIS PARA NABI, MARI KITA HORMATI ULAMA DAN KYAI SEBAGAI PEMEGANG ESTAFET RISALAH RASULULLAH SAW.

Saturday, December 24, 2011

Prof. Dr. Chotibul Umam

 Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam, adalah guru besar bahasa dan sastra Arab di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dan mantan rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, yang juga rais syuriyah PBNU dan penasehat Lajnah Falakiyah PBNU.

Unsur Imajinasi
Diwawancarai di kediamannya di Perumahan Dosen UIN Ciputat, Tangerang, Banten, ulama sepuh yang bersahaja itu bertutur panjang lebar seputar bahasa Arab, aktivitas menulis para ulama dan suka dukanya bergelut dengan bahasa dan sastra Arab serta sekelumit perjalanan hidupnya.
Ditanya mengenai semakin langkanya ulama nusantara yang menghasilkan karya tulis dalam bahasa Arab, ulama sepuh kelahiran Kudus 81 tahun lalu itu mengatakan, “Sedikit banyak hal itu dipengaruhi oleh semakin populernya penggunaan Bahasa Indonesia dalam proses belajar mengajar di madrasah dan pesantren, sejak Indonesia merdeka.”
“Perlahan para santri dan ustadz lebih enjoy menggunakan bahasa Indonesia dari pada Bahasa Arab dalam menguraikan pelajaran. Bahkan di banyak madrasah dan pesantren, penggunaan bahasa Arab sebagai pengantar pelajaran justru dianggap menghambat pemahaman siswa,” tambahnya.
Efek yang lebih jauh lagi, papar Kiai Chatib, demikian ia akrab disapa, ulama sekarang lebih suka menulis karyanya dalam bahasa Indonesia agar lebih mudah diterima, dicerna dan dipahami pembaca yang mayoritas buta huruf Arab. Kondisi itu diperparah dengan fakta, tak seperti zaman dulu, saat ini tak banyak lagi pesantren, apalagi madrasah, yang mengajarkan ilmu arudh (seni sajak).

“Di IAIN saja tinggal fakultas Adab saja yang masih mengajarkan ilmu arudh,” tambah guru besar yang mengajar ilmu arudh di Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI
Sebuah karya sastra Arab yang baik, menurut suami Hj. Muflichah, itu harus memuat empat unsur : ‘athifah (rasa), khayaliyyah (imajinasi), fikrah (gagasan) dan uslub (gaya penulisan). Contoh karya sastra Arab terbaik sepenjang masa adalah Al-Quran, yang secara sempurna memenuhi keempat unsur tersebut.
Terlahir sebagai putra pengasuh pesantren membuat Chatibul Umam telah akrab dengan bahasa Arab sejak usia belia. Namun demiakian, sulung dari lima bersaudara putra pasangan K.H. Rif’an, pengasuh Pesantren Jagalan, Langgar Dalem, Kudus, Jawa Tengah, dan Nyai Hj. Ruqoyyah itu mengaku tak pernah menduga kelak akan menjadi guru besar ilmu tata bahasa Arab.

Pasalnya, saat remaja, kiai kelahiran Kudus, 7 Juli 1936, itu justru lebih akrab dengan dunia ilmu falak (astronomi), mengikuti jejak ayahandanya yang menjadi penyusun kalender Menara Kudus, sebelum Kiai Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi. Bahkan saat masih duduk bangku Tsanawiyyah di TBS ia pernah diperintahkan ayahnya untuk menyusun kalender lengkap tahun 1958. Setelah diperiksa sang ayah, hasil perhitungan Chatibul Umam itu kemudian diterbitkan dan diedarkan oleh Menara Kudus.
Chatib kecil mengawali pendidikan agamanya di rumah sendiri. Ia mengikuti pengajian-pengajian kitab yang diasuh ayahnya. Selain mengaji di rumah, ia juga belajar agama di Madrasah Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah Taywiquth Tulab Salafiyyah (TBS), salah satu madrasah legendaris di kota kretek itu yang rata-rata pengajarnya adalah para kiai.

Di TBS ia belajar ilmu falak kepada sang ayah dan ilmu arudh (seni sastra) kepada K.H. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi. Sementara pengajian Al-Quran diikutinya di Pesantren Yanbu’ul Quran yang diasuh K.H. Arwani Amien, alumnus pesantren Krapyak, Yogyakarta, yang belakangan menjadi salah seorang ulama besar pengajar Tahfizhul Quran terkemuka di negeri ini. Tiga ulama Kudus itulah yang hingga kini ia jadikan sumber inspirasinya.

Nyaris Sempurna
Meski tak lagi menggeluti ilmu falak secara langsung, pengetahuannya dalam ilmu penentuan kalender itu hingga kini masih diakui. Terbukti dari kepercayaan Lajnah Falakiyyah PBNU, lembaga ilmu falak NU, yang mengangkatnya menjadi penasehat. Bahkan setiap kali Departemen Agama mengadakan sidang itsbat untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah, Profesor Chatiblah yang selalu diminta hadir mewakili NU.

Lulus dari TBS, tahun 1953, Chatibul Umam melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Yogyakarta. Di sekolah berdurasi empat tahun ajaran itulah untuk pertama kalinya ia tertarik untuk mendalami Bahasa Arab, yang bermula dari perjumpaannya dengan Ustadz Nurhasyim, guru Bahasa Arabnya yang alumnus Gontor.
Dengan semangat “belajar Bahasa Arab itu menyenangkan” sang ustadz mendorong murid-muridnya untuk mendalami bahasa Al-Quran tersebut. Khusus kepada Chatib yang mulai menunjukkan ketertarikan, ustadz Hasyim selalu mengajaknya berbincang dalam Bahasa Arab dan meminjamkan buku-buku kontemporer berbahasa Arab, seperti novel dan puisi karya Luthfi Al-Manfaluthi, yang belakangan mengilhami penyusunan disertasinya.

“Karena waktu itu belum banyak mesin foto kopi, buku-buku yang menarik lalu saya salin di buku tulis,” kenang Profesor Chatibul Umam. Sejak itulah ia bertekad untuk terus memndalami Bahasa Arab.
Selepas SGHA, Chatib yang langsung diangkat menjadi guru negeri itu lalu ditugaskan mengajar Bahasa Arab di PGA Kudus. Dengan mengajar kemampuan dan pengetahuan Bahasa Arabnya pun meningkat pesat. Tak melupakan almamater, setiap jadwal mengajarnya di PGA kosong ia pun mengajar mata pelajaran umum, ilmu falak dan kaligrafi di TBS.

Tiga tahun kemudian, 1960, ia mendapat kesempatan mengikuti ujian negara untuk mendapatkan beasiswa tugas belajar di Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Jakarta. Dengan modal kemampuan Bahasa Arabnya, ia mampu melewati ujian yang seluruh soalnya berbahasa Arab itu dengan nilai nyaris sempurna, 99 pada skala 100.

Di kampus yang kelak menjadi IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, itu kehausan Chatibul Umam dalam mempelajari Bahasa Arab menemukan muaranya. Sebab di perguruan tinggi yang merupakan program unggulan pemerintah itu hampir semua mata kuliah di sampaikan dalam bahasa Arab.
Banyak kenangan lucu saat ia pertama kali mengikuti perkuliahan di Jurusan Bahasa Arab yang dipimpin Profesor Busthami itu. Salah satunya ketika perkenalan materi Filsafat yang diampu Zainuddin Manshur.
Tanpa diduga, sang dosen langsung menyebutnama Chatibul Umam dan menyuruhnya maju ke muka kelas dan memperkenalkan diri dan menceritakan kesan-kesannya diterima di ADIA, dalam bahasa Arab. Lucunya, ketika sang dosen menyebut nama Chatibul Umam, ada salah seorang temannya yang bertanya balik dengan mimik serius, “Juz kam, ya Ustadz? Juz berapa, Ustadz?” Rupanya dia mengira sang dosen sedang menyebut judul salah satu kitab.

Tak sampai setahun, ADIA berubah status menjadi IAIN. Ia pun menjadi mahasiswa angkatan pertama kampus kebanggaan umat Islam Indonesia tersebut.
Saat kuliah, Chatibul Umam juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tak tanggung-tanggung, tahun 1963, saat PB PMII dipimpin Mahbub Djunaedi, Chatib diangkat menjadi wakil sekretaris jendral. Ketika Mahbub memimpin Duta Masyarakat, koran harian milik Partai NU, ia juga ikut direkrut menjadi salah seorang wartawan sekaligus sekretaris redaksinya.

Sekali Jadi
Ketika Partai NU berfusi ke dalam PPP, koran Duta Masyarakat pun dilebur dengan beberapa media parta Islam lain menjadi harian Pelita. Merasa tidak sreg, Mahbub dan Chatib memilih keluar lalu bergabung dengan Majalah Risalah Islamiyyah, media yang diterbitkan oleh Lembaga Misi Islam yang dipimpin K.H. Dr. Idham Chalid. Sementara di kampus ia mendirikan dan memimpin Studia Islamika, jurnal ilmiah milik IAIN Syarif Hidayatullah. Media massa terakhir yang digelutinya adalah majalah Ihya Ulumiddin, yang diterbitkan oleh .
Mahbub Djunaedi memang guru terpenting Chatibul Umam dalam dunia tulis menulis. Dari Mahbub ia belajar tekhnik menulis sekali jadi, yakni menulis tanpa terlebih dulu menyusun konsep di atas kertas. “Menurut Mahbub, wartawan sejati harus bisa merumuskan outline dan tulisan jadi di otaknya sebelum mulai mengetik. Dia marah-marah kalau ada wartawan yang bolak-balik mengganti kertas karena kehilangan gagasan di tengah-tengah menulis.”
Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang. Setiap menulis buku, artikel atau makalah, Chatibul Umam selalu mengerjakannya dalam sekali duduk.

Buku pertamanya yang membahas tentang Ilmu Balaghah terbit pada tahun 1969. Buku itu lalu diterbitkan secara besar-besaran oleh Departemen Agama dan disebarkan ke seluruh tanah air sebagai buku pegangan pelajaran Ilmu Balaghah. Dari hasil royaltinya, Chatibul Umam bisa membeli sebuah rumah yang cukup besar di Kauman Semarang, yang ia beri nama Baitul Balaghah, Rumah Balaghah.
Sejak itulah Kiai Chatibul Umam terus produktif menulis. Hingga tahun 1999, ketika diadakan pendataan karya-karyanya sebagai prasyarat memperoleh gelar Doktor, tercatat 218 judul buku, baik karya asli maupun terjemahan kitab-kitab, karya Sang Profesor yang telah diterbitkan. Kebanyakan mengupas persoalan tata bahasa dan sastra Arab.

Jumlah itu belum termasuk puluhan makalah serta artikel ilmiah yang disusunnya untuk berbagai jurnal dan seminar di dalam dan luar negeri. Angka itu masih terus bertambah, karena hingga kini Kiai Chatib masih terus berkarya. Saat ini, misalnya, ia tengah menyelesaikan penerjemahan Kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, kitab fiqih empat Madzhab.
Tak hanya beredar di dalam negeri, beberapa buku karya Kiai Chatib juga menghiasi rak beberapa toko buku besar di negeri jiran Malaysia, Brunai dan Singapura. Sebut saja buku Pedoman Dasar Ilmu Nahwu, Kaidah Tata Bahasa Arab, dan buku-buku Bahasa Arab lain untuk tingkat MI dan MTs yang versi aslinya diterbitkan Menara Kudus.

Sayangnya buku-buku itu kebanyakan diterbitkan di Malaysia secara ilegal alias dibajak. Tak pernah sepeser pun Kiai Chatib mendapatkan royalti atas karya-karyanya tersebut. Bahkan ketika salah seorang temannya yang mengajar Bahasa Arab di UGM membantunya melacak “penerbit”, ternyata alamatnya fiktif.
Ketika alKisah mengusulkan upaya hukum untuk menuntut si pambajak, dengan ringan sang kiai berkata, “Buat apa nuntut, wong sistem hukum kita saja nggak mendukung. Lebih baik diam. Saya cuma berharap, mudah-mudahan si pembajak diberi kesadaran dan bersedia membayar royalti.”
Kepiawaian Chatib berbahasa Arab dalam sebuah acara PMII yang mengundang tamu-tamu dari Timur tengah juga pernah membuat kagum Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri. “Chatib, tolong bantu aku di departemen ya,” kata Kiai Chatib menirukan permintaan sang menteri waktu itu.
Sejak itu ia sering diminta membantu kementrian dalam hal-hal yang berkaitan dengan Bahasa Arab. Tak hanya itu, Chatib juga diminta mengajar privat anak-anak Saifudin Zuhri.

Peninjau Muktamar
Sedangkan ihwal keterlibatannya dalam kepengurusan NU, Kiai Chatib mengaku semuanya berlangsung tanpa sengaja. Ceritanya juga cukup unik. Pada muktamar Krapyak, 1989, ia ikut hadir sebagai peninjau karena tertarik dengan isu mufaraqahnya Kiai As’ad Syamsul Arifin. Karena cuma peninjau, usai pemilihan Rais Am dan Ketua Umum, pun ia segera kembali ke hotel dan tidur.
Pagi harinya tanpa punya pikiran apa-apa ia berolah raga dengan jalan-jalan di depan hotel. Di tengah jalan ia berpapasan dengan Kiai Najid Mukhtar, mantan ketua PP Ma’arif, yang tengah menuju stasiun. Tiba-tiba ia memanggil namanya sambil meneriakkan kata selamat. Kiai Chatib pun bengong. “Selamat? Selamat untuk apa?” pikirnya dalam hati sambil melanjutkan olah raganya.
Peristiwa yang sama kembali terulang ketika naik kereta menuju Jakarta. Beberapa orang peserta muktamar yang berjumpa dengannya memberikan ucapan selamat. Kiai Chatib pun bertanya heran, “Ada apa ini, kenapa semua orang memberi selamat kepada saya?’.
Salah seorang peserta muktamar memberikan selembar koran pagi baru yang di halaman mukanya tercantum struktur kepengurusan PBNU. Ternyata namanya termasuk yang dipilih tim formatur untuk duduk sebagai wakil katib ‘am. Ayah tiga anak hasil pernikahannya dengan Hj. Muflichah itu pun geleng-geleng kepala.
Pada muktamar berikutnya yang digelar di Cipasung, Kiai Chatibul Umam dipercaya menjadi ketua Lembaga Bahtsul Masail NU. Namun tak lama kemudian, oleh Gus Dur ia dikembalikan ke posisi syuriyah, namun kali itu ia sebagai rais atau ketua.

Profesor Doktor K.H. Chatibul Umam memang sosok langka. Dedikasinya dalam dunia pembelajaran Bahasa Arab sungguh luar biasa. Meski baru mendapat gelar Doktor pada tahun 1999, Kiai Chatib telah menyandang gelar guru besar Bahasa Arab sejak tahun 1990.
Penganugerahan gelar profesor itu merupakan penghargaan atas dedikasinya dalam mengajar dan berkarya di bidang tata bahasa dan sastra Arab serta dianggap memiliki kemampuan membimbing calon Doktor.
Lucunya, beberapa tahun setelah penganugerahan gelar profesor, Kiai Chatib menyusun sebuah disertasi yang akan diajukannya ke senat guna memperoleh gelar doktor. Namun ia malah ditertawakan rektornya, “Walah, anda ini khan sudah profesor senior yang biasa membimbing dan menguji para doktor. Kalau sekarang anda bikin disertasi yang akan membimbing dan menguji siapa?”
Akhirnya rapat senat IAIN Syahid pada tahun 1999, yang mayoritas anggotanya adalah mantan mahasiswanya, memutuskan untuk menganuerahkan gelar Doktor dalam bidang bahasa Arab kepada sang profesor.

Dua gelar itu memang sangat layak disematkan di dada Chatibul Umam, sebagai penghargaan atas khidmahnya di dunia pendidikan. Ia adalah pengajar sejati, seperti yang diungkapkannya kepada alKisah di akhir perjumpaan, “Saya ini pada dasarnya hanyalah seorang guru. Saya paling berat kalau disuruh meninggalkan aktivitas mengajar.”
Dan itu terbukti dalam kesehariannya di UIN. Jika tidak karena halangan yang benar-benar tidak memungkinannya berangkat mengajar, Prof. Dr. K.H. Chatibul Umam tidak pernah mau absen memberikan kuliah.
READ MORE - Prof. Dr. Chotibul Umam

Saturday, December 17, 2011

READ MORE -

Wednesday, May 11, 2011

Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya. Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). 
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru  delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat. Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. 
Karya K.H. Hasyim Asy'ari
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra
READ MORE - Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari

Sunday, May 8, 2011

K.H. MOENAUWIR AL HAFIDZ, KRAPYAK - YOGYAKARTA

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Quran. Dan di Krapyak, sosok kharismatik Mbah Moenawirlah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Quran sudah nampak sejak putra Kiai Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Quran sebelum usianya menginjak delapan tahun.


Moenauwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Kasan Besari (senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Quran dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, meski tanpa hadiah.


Kehandalannya dalam membaca Al-Quran dengan fasih bahkan diakui gurunya, Kiai Kholil Bangkalan. Ketika usianya hampir menginjak 10 tahun, orang tuanya mengirim Moenauwir kecil untuk nyantri Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Mengetahui kefasihan salah seorang santrinya dalam membaca kalam ilahi, Kiai Kholil memerintahkan Moenauwir untuk mengimami shalat jamaah. Sementara Kiai Kholil sendiri berdiri sebagai makmum di belakangnya.


Bermukim di Haramain

Selepas dari Bangkalan, Kiai Moenauwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun.

Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.


Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah, sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silislah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.


Untuk memantapkan hafalan Al-qurannya, Kiai Moenauwir juga melakukan riyadhah berjenjang. Tiga tahun pertama ia mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh hari sekali. Tiga tahun kedua ia mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali. Dan tiga tahun ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Quran tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadhah tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.


Usai tirakat, Kiai Moenauwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syariat lain, seperti fiqih dan tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.


Di Kauman ia membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Quran di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban seba kepada sultan.


Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang. Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Quran ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Quran, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin Al Hafidz), Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar Al Hafidz), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha Al Hafidz), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh Al  Hafidz), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed  Al Hafidz pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Kiai Moenauwir.


Dua Tahun

Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain harus memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makharijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.

Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Quran dari Kiai Moenauwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.


Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandanaran, misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.


Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di pesantren-pesantren tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan tahfizh juz 30 atau juz ‘Amma, kemudian disusul program bin nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah khatam bin nazhar, barulah santri dapat mengikuti program bil ghaib atau tahfizh 30 juz.


Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran mushafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.


Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Quran alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Quran yang sudah ditashih Kiai Arwani Amin Kudus. Al-Quran tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.


READ MORE - K.H. MOENAUWIR AL HAFIDZ, KRAPYAK - YOGYAKARTA

Wednesday, April 27, 2011

KH Muntaha Al-Hafiz, Wonosobo

KH. Muntaha Alhafidz atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Mun adalah seorang ulama legendaris, dan Kharismatik. Beliau dijuluki sang Maestro Al-Qur'an. Dibawah kepemimpinan beliau inilah Al-Asy'ariyyah menemui kemajuan yang sangat pesat, dengan pertambahan santri yang menjadi ribuan dan juga pertambahan lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy'ariyyah. Dan dengan satu karya yang sangat fenomenal yaitu Al-Qur'an Akbar (Al-Qur'an terbesar di dunia) yang kini disimpan di bait Al-Qur'an Taman Mini Indonesia Indah 
Nama lengkapnya adalah KH Muntaha al-Hafiz bin Asy`ari bin `Abdul Rahim bin Muntaha bin Muhammad adalah pengasuh dan penerus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Al-Asy`ariyyah. Beliau dilahirkan pada 9 Juli 1912 di desa Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau memulai pengajian formal agamanya di Darul Ma'arif, Banjarnegara di bawah asuhan Syaikh Muhammad Fadhlullah As-Suhaimi yang masih terhitung kerabatnya. Setelah tamat di Darul Ma'arif, beliau meneruskan mondok di Pesantren Tahfidzul Quran Kaliwungu, Kendal di bawah asuhan K.H. Utsman sehingga berhasil menghafal al-Quran ketika berusia 16 tahun. Setelah itu, beliau mendalami ilmu qira'ah di Pesantren Krapyak di bawah asuhan K.H. M. Munawwir Al Muqri Alhafiz. Lalu beliau melanjutkan studinya di Pesantren Termas, Pacitan dengan  mendalami ilmu hadits, fiqh dan tafsir di bawah asuhan Kiyai Dimyathi.

Dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan negara Indonesia, KH Muntaha Al-Hafiz tidak ketinggalan berjuang menjadi komandan BMT (Barisan Muslimin Temanggung) yang bertempur dengan penjajah Belanda di Palagan Ambarawa. Kiyai Muntaha Al-Hafiz juga terkenal sebagai seorang ulama multidimensi yang mempunyai berbagai ide yang cemerlang. Dalam dunia pendidikan KH Muntaha al-Hafiz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan al-Asy'ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai lembaga pendidikan, antara lain : Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah `Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfidzul Qur'an, SMP Takhasus Al-Quran, SMU Takhasus al-Quran, SMK Takhasus al-Quran, Universitas Sains al-Quran (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu al-Quran (YPIIQ). Selain mengatur soal pendidikan, beliau turut aktif menjalankan dakwah bahkan beliaulah yang membentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah bagi aktivitas santri Pondok Pesantren Al-Asy'ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat banyak.

Dalam perjuangan memasyarakatkan al-Quran, KH Muntaha telah mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal al-Quran sebagai wadah untuk menghimpunkan para hafiz dan hafizah. Kepada murid-muridnya, beliau anjurkan agar mengkhatam al-Quran seminggu sekali. Selain menghafal al-Quran, beliau turut mengarang sebuah tafsir al-Quran diberi judul "Tafsir al-Munthaha".


KH. Muntaha al-Hafiz menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Rabu, 29 Desember 2004 dalam usia 92 tahun. Mudah-mudahan rahmat Allah senantiasa dilimpahkan kepada beliau, guru-guru beliau dan muslimin dan muslimat sekalian.

READ MORE - KH Muntaha Al-Hafiz, Wonosobo

K.H. Saefudin Zuhri

Asal-usul Keluarga dan Pendidikan
Saifuddin Zuhri dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Siti Saudatun, istri Mohammad Zuhri pada tanggal 1 Oktober 1919 di Kawedanan Sokaraja – Tengah Banyumas Jawa Tengah.
Saifuddin dilahirkan dari keluarga yang sederhana, ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani. Meskipun berasal dari keuarga yang sederhana, tetapi orang tua Saifuddin memiliki obsesi yang sangat besar. Mereka mengharapkan agar Saifuddin kelak dapat menjadi “orang besar”.


Keluarga dan lingkungan menjadi faktor penting dalam mengantar hasrat kedua orang tua Saifuddin. Pada masa kecil, pagi dan siang hari, Saifuddin belajar di Sekolah Dasar (Umum) dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Huda Nahdlatul Ulama. Pada malam hari dia mengaji Al-Quran dan mempelajari kitab-kitab kuning di berbagai pondok pesantren yang bertebaran di daerahnya. Pada usia kanak-kanak dia telah fasih membaca Al-Quran dan mengkhatamkan beberapa kitab. Ketika berusia 13 tahun, dia sudah mengkhatamkan kitab Safinah, Qathrul Ghaits, Jurumiyah, dan kitab kuning lainnya.


Ketika berumur 17 tahun, Saifuddin ingin mengembara ke daerah lain karena hausnya ia akan ilmu pengetahuan. Kota Solo, menjadi target tujuannya untuk menambah ilmu pengetahuan. Meskipun dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Akan tetapi, dengan tekad dan semangat yang membara Saifuddin tetap berangkat ke kota Solo.


Di kota Solo ini, Saifuddin belajar sambil bekerja untuk membiayai sekolahnya. Awalnya ia berencana menjadi pelayan toko dan pelayan hotel, namun terdengar oleh ayahnya dan melarang rencana tersebut. Dia berusaha kerasa untuk mencari pekerjaan yang lebih baik untuk membiayai sekolahnya. Karena Saifuddin memiliki bakat menulis, maka ia melamar sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya politik, yang terjadi di Solo.


Selain di surat kabar Pemandangan, untuk menambah penghasilan ia juga membantu surat kabar berbahasa Jawa, Darmokondo, yang terbit di Solo. Dengan penghasilan tersebut ia berhasil membiayai sekolahnya di Madrasah Mambaul Ulum sampai kelas VIII (kelas tertinggi). Pekerjaannya sebagai wartawan agak terganggu karena sekolah di Mambaul Ulum masuk siang. Karena itu dia memilih untuk pindah ke sekolah lain.


Dari Mambaul Ulum dia pindah ke Madrasah Salafiyah dan diterima di kelas tertinggi. Namun, di sekolah baru Saifuddin hanya bertahan satu bulan karena alasan serupa: waktu belajarnya siang hari. Sulit baginya meninggalkan pekerjaan sebagai wartawan, karena dengan itu dia bisa membiayai sekolahnya.


Tak lama setelah keluar dari dua lembaga pendidikan tersebut, Saifuddin belajar di lembaga pendidikan Al-Islam, juga di kelas yang paling tinggi. Di sekolah ini di merasa kerasan. Pertama, karena sekolahnya masuk pagi sehingga tidak mengganggu pekerjaannya sebagai wartawan di siang hari. Kedua, beberapa mata pelajarannya dinilai cukup menarik, misalnya tajdid (pembaruan).


Pada tahun 1938, di Gedung Habipraya, Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia sebagai perkembangan lebih lanjut dari Sumpah Pemuda 1928. Menurut saifuddin peristiwa ini perlu diliput karena merupakan peristiwa nasional yang “layak berita”. Selain acara ini dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional, juga karena bahasa Indonesia harus dikuasai oleh setiap warga Indonesia. Karena itulah, Saifuddin mengikuti setiap acara dengan seksama dan meliputnya dengan lengkap. Untuk keperluan ini, dia harus meninggalkan bangku sekolah dan pesantren dalam beberapa hari.


Menjadi Penulis


Tradisi menulis tampaknya telah menyatu pada diri K.H. Saifuddin Zuhri. Topik-topik tulisan yang diangkat bukan sekedar masalah intern NU atau masalah politik dalam negeri, melainkan juga masalah dunia internasional. Jenis tulisannya pun bervariasi, dari artikel, ulasan dalam tajuk koran yang dipimpinnya, sampai analisis dan esai. Ini terlihat jelas melalui karya-karyanya berupa buku berjumlah tak kurang dari 11 buah yang kini bisa dinikmati oleh generasi baru.


Buku-buku karya K.H. Saifuddin Zuhri antara lain; Palestina dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam National Building (1965), K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU (1972), Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974), Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (1979), Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid: 1981), Unsur Politik dalam Dakwah (1982), Secercah Dakwah (1983), dan Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung menjelang akhir hayat.


Melalui karyanya, sesungguhnya K.H. Saifuddin ingin menyatakan kepada penerusnya agar tidak sekadar menikmati kekayaan para pendahulunya. Generasi baru itu, selain harus melestarikan tradisi yang baik juga menciptakan sesuatu yang baru untuk generasi berikutnya.


Menjadi Menteri Agama dan Mengembangkan IAIN


Pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, Saifuddin diminta menghadap ke Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung Karno. Apakah karena urusan DPR atau DPA? Apa soal urusan Sekjen NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? Ternyata dalam pertemuan itu, Bung Karno minta K.H. Saifuddin Zuhri agar menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri.


“Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung karno ketika itu.


Permintaan ini tidak serta merta diambil oleh KH. Saifuddin Zuhri, tetapi beliau justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh teras NU, khususnya K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu dengan K.H. Wahib Wahab dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama.


Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan semua mendukung permintaan Bung Karno untuk mengangkat K.H. Saifuddin Zuhri menduduki posisi Menteri Agama menggagntikan K.H. Wahab Hasbullah. K.H. Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama periode kesepuluh pada tahun 1967.


Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri berupaya untuk mengembangkan IAIN. Dan upayanya ini membuahkan hasil, IAIN berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten. Menurut pemrakarsanya, IAIN harus menjadi perguruan tinggi yang memiliki kedudukan strategis dalam rangka mewujudkan tesis agama sebagai unsur mutlak nation building.


Usaha untuk mengembangkan IAIN ini bukan tidak ada tantangannya. Reaksi muncul dari sebagian kalangan DPR dan dari sekelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengembangan IAIN. Mereka menuduh, Departemen Agama seolah-olah hanya menganakemaskan umat Islam. Berarti pemerintah telah berbuat diskriminatif terhadap rakyatnya.


Sebagai orang yang bertanggung jawab atas proyek ini, K.H. Saifuddin berupaya menjelaskan. “Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan rakyat melalui pendidikan dan pengajaran. Dalam sistem pendidikan kolonial tempo dahulu, hanya segolongan masyarakat kecil yang diuntungkan oleh sistem itu, dengan menikmati berbagai fasilitas dan sarana yang baik. Sementara masyarakat Islam yang mayoritas itu dibiarkan dalam kebodohan.”


Untuk mengembangkan wawasan bagi mahasiswa maupun dosen IAIN, K.H. Saifuddin Zuhri membuat kebijakan mengirim mereka belajar ke luar negeri, misalnya ke negara Timur Tengah. Di antara nama-nama yang pernah mendapat beasisiwa adalah zakiah Daradjat di Ain Syams Kairo, Mesir dan Abdurrahman Wahid di Al-Azhar di kota yang sama.


Jika saat ini banyak pejabat yang aji mumpung ketika menduduki pos-pos tertentu yang strategis, namun tidak bagi K.H. Saifuddin Zuhri. Hal ini terlihat ketika sang adik (ipar), Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) Depag. Departemen Agama memang lazim menghajikan orang-orang tertentu, baik sebagai hadiah maupun kepentingan sebagai petugas haji.


Namun permintaan sang adik ipar (Mohammad Zainuddin Dahlan) tidak dikabulkan oleh sang kakak (ipar). K.H. Saifuddin Zuhri menjawab keinginan Mohammad Zainuddin Dahlan dengan jawaban, “sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan....” ujar K.H Saifuddin Zuhri.


Pernikahannya dengan ibu Solichah, K.H. Saifuddin Zuhri dikaruniai sepuluh putra-putri. Mereka adalah Dr. Fahmi Dja’far (yang beristrikan Dra. Maryam putri tokoh NU K.H. Ahmad Syaikhu); Farida (bersuamikan Ir. Shalahuddin Wahid putra ketiga K.H. Wahid Hasyim – adik kandung Abdurrahman Wahid); Anisa, istri Dr. Solichul Hadi (mantan aktivis PMII); Aisyah, yang dipersunting Drs. Wisnu Hadi (pengusaha); Andang FN; Baehaqi, berpendidikan di Kairo dan Belanda yang menikah dengan Gitta (Gadis Belanda); Julia; Annie; Adib yang menikah dengan Yanti Ilyas (putri K.H.M. Ilyas); dan Lukman Hakim, salah satu politisi terkemuka Indonesia.


Pada akhir 1980-an, K.H. Saifuddin Zuhri memiliki kebiasaan baru yang tidak diketahui oleh putra-putrinya. Setiap habis shalat dhuha, sekitar pukul 09.00, dia keluar rumah mengendarai mobilnya sendiri. Menjelang dzuhur tiba, dia sudah kembali ke rumah. Ke mana gerangan mantan Menteri Agama ini pergi? Dan untuk urusan apa?


Kegiatan ini berjalan cukup lama tanpa satupun anggota keluarganya mengetahui. Sampai suatu hari, salah seorang putranya berhasil memergoki apa yang dikerjakan oleh K.H. Saifuddin di luar rumah. Bukan kepalang kagetnya ketika sang putra mengetahui yang dikerjakan oleh ayahnya selama ini.


Rupanya, sehabis shalat dhuha, dia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta Pusat. Tanpa harus merasa jatuh gengsi, dai berdagang beras kecil-kecilan. Sampai akhir hayatnya, tokoh yang satu ini hidupnya sangat bersahaja. Semasa menjadi pejabat dan tokoh penting, sangat berpantangan dengan budaya aji mumpung. Seandainya dia mau, boleh jadi pada akhir tahun 1980-an itu dia tidak perlu harus keluar rumah setiap pagi untuk menjadi pedagang kecil dan menjual beras.
READ MORE - K.H. Saefudin Zuhri